Di suasana pagi yang cukup cerah, saya berjalan menuju ke kampus untuk kembali mengurus segala urusan pemberkasan yang perlu segera diurus. Pagi itu, saya telah membuat janji dengan sahabatku yang mungkin aku bisa bilang, cukup akrab dan cukup dekat dengannku sejak awal saya masuk ke perkuliahan. Saya dan temanku pagi itu berencana untuk menyelesaikan urusan pemberkasan secara bersama-sama, dengan harapan, urusannya bisa selesai bersama, tanpa ada yang tertinggal di antara kita. Ya, saling menemani satu sama lain.
“Saya sudah tiba di kampus“, pesanku kepadanya untuk memberi tahu bahwa saya telah tiba di kampus. Beliau berkata: “Sebentar ya. Motor aku sedang dipinjam“. Baiklah, akhirnya saya mencoba duduk di bangku taman di sekitar gedung kampus, sambil mencoba mendengarkan musik melalui earphone-ku. Playlist demi playlist terputar, waktu demi waktu berjalan, saya menunggu-nya sambil duduk lalu berjalan, berdiri, lalu kembali duduk, sementara di latar belakang, orang-orang berlalu lalang untuk pergi ke gedung perkuliahan, maupun untuk pulang.
Setelah kurang lebih sejam, temanku mengirim pesan: “Aku sudah di bangku taman. Kamu di mana?“. Sepertinya terjadi kesalahpahaman pada diriku yang aku malah justru bergegas ke bangku taman di gedung di sebelahnya lagi. Aku mengirim gambar kepadanya, dan beliau berkata: “Sepertinya kamu salah“, sembari dia memberikan gambar bahwa dia berada di depan area loket untuk pembayaran mahasiswa. Bergegaslah aku ke tempat itu. Sesampainya di sana, aku bertemu oleh teman-temanku yang lain yang juga sedang mengurus pemberkasan. Saling sapa dan bertukar kabar dengan mereka, lalu saya bertanya, “Di manakah temanku satu itu?“. Mereka menjawab, “Itu! Di balik papan itu!“. Saya bergegas ke balik papan, dan bertemulah ia dengan kondisi tersenyum, duduk sendiri di bangku tersebut.
Saling sapa dan bertukar kabar, “Alhamdulillah“, saya dan temanku itu sedang dalam kondisi yang baik saat itu. Saya langsung berkata: “Yuk, kita langsung menghadap sekretaris kampus“, namun beliau menahanku sejenak, seakan memintaku untuk mendengarkan apa yang dia ingin ceritakan ke saya. Baiklah, saya coba untuk mendengarkannya.
Tanpa basa basi, dia langsung membuka ceritanya, “Bandar, kamu tahu? Aku sudah putus dengan pacarku“. Saya berempati kepada beliau, mengerti bahwa putusnya sebuah hubungan romantisme itu, adalah sesuatu yang pahit bagi manusia yang memiliki perasaan yang penuh cinta. Posisi di mana ada rasa kecewa yang mendalam, terutama bila hubungan romantisme itu sudah terbangun cukup kuat. Aku bisa merasakan masih tersisanya perasaan sedih yang mendalam dari beliau, walaupun beliau berkata kepadaku bahwa kondisinya saat itu sudah cukup membaik dan sudah mulai move-on dari situasi yang buruk tersebut.
Beliau membuka ceritanya kepadaku, bahwa hubungan romantisme yang ia bangun bersamanya selama kurang lebih 5 tahun, berakhir kandas yang sangat mengecewakan, terlebih lagi, mereka sudah mulai masuk ke tahap awal dari perencanaan pernikahan mereka.
Mengapa berakhir kandas yang sangat mengecewakan? Beliau tidak menyebut alasan jelasnya, namun aku mencoba memberikan bayangan keras, bahwa mungkin saja terjadi kesalahpahaman atau ketidakcocokan perspektif, dsb. di antara mereka berdua yang mungkin bisa menjadi faktor yang mendorong hal tersebut itu terjadi. Pacarnya langsung memutuskan hubungan romantismenya dengan temanku, dan temanku mungkin berpikir bahwa mungkin saja sang pacarnya ini sedang merasa bosan untuk melanjutkan suatu hubungan dan ingin beristirahat sejenak. Sembari begitu, temanku kembali mencoba improvisasi diri dan mencari jalan untuk kembali memperbaiki hubungan tersebut.
Ketika saatnya, temanku siap untuk mulai berbicara kepada pacarnya tsb., dan mengajak untuk kembali memperbaiki hubungan bersama, karena alasan tertentu, pacarnya menolak. Temanku bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, hingga satu titik, tergambarlah suatu benang putih. Kurang lebih, lebih baik pacarnya jujur daripada temanku mencari tahu apa penyebab utama dari penolakan tersebut.
Apa yang temanku temukan, ternyata lebih dari yang ia duga. Pacarnya melakukan hubungan gelap dengan perempuan lain selama dia menjalankan hubungan romantisme dengan temanku. Dan bukan hanya satu perempuan, namun lebih. Di saat temanku mencoba yang terbaik untuknya, dan karena memang mereka menjalankan hubungan jarak jauh (atau yang kita kenal, long distance relationship – LDR), pacarnya justru antar jemput dan bermain dan bermesraan dengan perempuan lain yang bukan kekasihnya.
Setelah temanku mengetahui semua fakta yang terjadi, dia mengkonfrontasi mantan pacarnya itu. Mantan pacarnya itu menangis-nangis, merasa pedih akibat terungkapnya fakta pahit tersebut, memohon supaya dibukakan pintu maaf baginya, dan memohon supaya hubungannya dapat diperbaiki kembali. Oh maaf saja, temanku sudah terlanjur kecewa. Temanku sudah tidak mau menjawab pesan dia lagi.
Akibat dari situasi yang keruh tersebut, temanku mengalami sebuah kondisi mental yang cukup tidak baik, di mana tangannya bergetar, yang membuat dia untuk berkunjung ke seorang psikolog. Psikolog mendiagnosa dia mengalami serangan panik. Namun pada akhirnya, temanku memutuskan untuk bangkit sebaik mungkin, bangkit dan berjalan pergi menjauhi situasi yang keruh tersebut.
Mendengar cerita itu, di satu sisi saya masih perlu berempati dengan temanku itu, di satu sisi lain, saya mesti merasa takjub dengan beliau. Mengingat, tidak sedikit yang gagal untuk bangkit dan memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Cerita belum berakhir sampai situ. Temanku masih ingin bercerita mengenai refleksi dan pelajaran yang bisa di ambil dari situasi tersebut. Temanku merasa sedih bahwa selama ini, apapun yang ia improvisasi dirinya untuk pacarnya, itu seakan adanya sebuah kompetisi dengan perempuan-perempuan lain, dan dia sangat tidak mau merasa adanya kompetisi itu. Temanku juga berargumen, bahwa masalah ini bisa dikatakan selesai dengan cukup mendiami dia saja, dan merasa di situasi tersebut, diam adalah menyelesaikan masalah.
Temanku menggaris bawahi bahwa dia mungkin bisa saja menerima mantan pacarnya itu sebagai teman. Namun untuk membuka hati untuknya, sangatlah tidak mungkin lagi. Dan berangkat dari situ juga, dia memilih untuk belum siap membuka hatinya bagi siapapun. Masih memerlukan waktu, dan mempertimbangkan bahwa jikalau dia siap untuk membuka hatinya lagi, dia tidak ingin hal seperti ini terjadi lagi. Tidak lagi merasa terbandingi, merasa diduakan, merasa dikompetisikan dengan perempuan-perempuan lain.
Selesai. Cukup berat bagiku untuk mendengar cerita temanku itu. Empati, takjub, kecewa, sedih, tercampur seperti gado-gado. Saya cuma bisa menambahkan, bahwa, analogikan hubungan romantisme itu seperti seseorang yang kita berikan amanah untuk menitipkan uang kita sebesar Rp. 10 Milyar kepada dia. Jika orang yang kita berikan amanah itu membawa kabur uang sebesar Rp. 10 Milyar itu, apa reaksi kita? Sudah bawa kabur uang Rp. 10 Milyar lalu datang kembali nangis-nangis minta maaf, apa yang kita akan lakukan kepadanya? Memaafkan diakah?
Begitu juga dengan asmara, hubungan romantisme. Ketika kita membuka dan membangun sebuah hubungan itu, maka kita menitipkan perasaan kita ke dia, dan dia menitipkan perasaannya ke kita, dan ini mesti kita jaga! Kita jaga baik-baik. Ketika dia membawa kabur perasaan kita yang kita titipkan ke dia, apakah perasaan kita akan sakit? Kecewa? Begitulah yang semestinya kita pikirkan, sebelum kita melakukan sesuatu yang melanggar amanah, membawa kabur perasaan dia ke orang lain.
Waktu berjalan, tidak terasa sudah hampir 30 menit kita duduk, berbagi cerita dan perspektif mengenai kejadian yang ia alami. Kita memutuskan untuk bergegas menghadap sekretaris kampus, sesuai dengan rencana. Namun, sampai di sana, kami diberitahu bahwa sekarang sedang jam istirahat, dan di minta untuk menunggu sejam lagi.
Oh okey, temanku mengatakan bahwa dirinya tidak lapar, cuma dia ingin duduk membeli minuman sambil bersantai sejenak lagi, dan ingin melakukan siaran langsung di aplikasi video instan. Baiklah, kita bergegas ke kafetaria kampus, dan bersantai di situ sejenak.
Sembari kita duduk, dia melihat banner “Bakso Bakwan”, saya sadar ada sesuatu di banner tersebut, namun dia langsung berkata “Ugh, saya trauma melihat nama itu!“, yang membuatku berkata, “Oh, jangan berikan saya referensi itu!“, sambil tertawa, mengingat nama setelah kalimat “Bakso Bakwan” pada banner itu adalah nama mantan pacarnya yang telah membuat dia sakit.
Sepanjang kita duduk di kafetaria, dia bertanya kepadaku, mengapa saya hari ini sangat ceria? Saya balas saja, bahwa kita mesti senang, perasaan jika bisa dibawa senang, mengapa tidak? Mungkin saja, yang membuatku senang, bisa saja adalah aura positif dari temanku itu.
Kita berbagi tawa, dan kembali bertanya kepadaku, mengapa diriku ini tidak memiliki pacar? Saya katakan, bahwa sendiri-pun juga tidak mengetahui mengapa. Saya berargumen, tampang saya tidak begitu tampan dibandingkan yang lain. Huh, sepertinya saya underestimate diriku. Namun temanku berargumen, bahwa diriku masih ada potensial untuk mendapatkan seorang kekasih. Namun entahlah, sepertinya akunya saja yang mungkin belum mencoba untuk menggali potensi itu, haha.
Setelah itu, dia mengungkapkan kepadaku bahwa dia ingin sekali ke Jogja dengan alasan, kota itu terlalu romantis bagi dia. Saya timpal, bagaimana jika kita melanjutkan studi di kampus prestisius di kota itu? Temanku pada akhirnya juga underestimate kemampuannya, namun saya kembali mengutarakan bahwa dirinya pasti bisa. Belum cukup sampai situ, kita membahas, skenario yang mungkin saja terjadi apabila kita melanjutkan studi di luar negeri, dsb. Benar, saya dan beliau masih merasa jauh dari realita, tetapi kembali saya utarakan, bila kita ada kesempatan untuk itu, mengapa tidak untuk mencoba?
Waktu berjalan, kita kembali bergegas menghadap ke sekretaris kampus. Selesai menghadap sekretaris kampus, kita diminta untuk melanjutkan proses penyelesaian pemberkasan di administrasi kampus. Sembari kita menunggu antrian, temanku berbagi perspektifnya mengenai rasa syukur. Dia berargumen, bahwa mestinya mantan pacarnya itu mesti mensyukuri apa yang telah ada, termasuk mensyukuri (sempat) memilikinya, membangun hubungan asmara dengannya. Kemudian dia menutup argumen itu dengan sebuah pertanyaan kepadaku: “Apa kriteria perempuan bagimu?“. Dia menganggap bahwa diriku ini pasti memiliki kriteria yang tinggi.
Namun, saya terus terang saja kepadanya, bahwa saya sebagai laki-laki-pun, juga pada akhirnya tidak bisa mengelak perasaan suka kepada temanku itu. Ya, bagaimana? Dia berparas cantik, mudah diajak berinteraksi, memiliki aura yang selalu positif, baik, dsb. Namun, saya utarakan, bahwa di posisi ini pula, menjadi sahabat baik dia-pun, sahabat yang dekat dengan dia-pun, juga mesti disyukuri, walaupun saya merasa kesempatan bagiku untuk mengisi ruang hatinya dengan koridor hubungan asmara itu masih kecil. Namun, inilah, dengan memilih untuk bersahabat daripada daripada berjalan di koridor hubungan asmara itu, membuatku seperti ada kebebasan tersendiri. Tidak mudah bawa perasaan. Tidak ada suatu kewajiban yang mesti dituruti atau apapun itu. Senang, senang bareng. Sedih, sedih bareng. Gila, gila bareng. Tumbuhlah sebuah chemistry yang tumbuh secara natural. Temanku setuju akan perspektifku ini. Dia setuju bahwa secara tidak langsung-pun saat berinteraksi denganku, chemistry itu tumbuh secara natural, walaupun tidak dalam koridor hubungan asmara.
Baik, urusan administrasi selesai, dan lanjut ke urusan dan proses-proses berikutnya, yang pada akhirnya, urusan pemberkasan ini tuntas juga bagi kita berdua. Temanku mengajakku untuk kembali ke kafetaria lagi. Dia merasa lapar dan ingin makan siang. Baiklah, kita memesan makanan untuk makan siang. Kebetulan, diriku ini juga sudah lapar.
Sembari kita makan siang, dia mengutarakan kepadaku bahwa diriku ini cerdas di matanya. Namun saya mencoba menyangkal bahwa saya merasa, saya tidak begitu cerdas juga, hehe. Namun saya katakan kepadanya, bahwa manusia itu pada akhirnya memiliki advantanges & disadvantages-nya masing-masing. Di satu bidang, mungkin saya jagonya, dan temanku mungkin masih kurang begitu mengerti. Di satu bidang lain, mungkin temanku ini yang lebih jago, dan aku mesti perlu belajar dari temanku itu. Kita hidup dengan sebuah proses belajar. Belajar tidak hanya terbatas di ruang kelas, di ruang perkuliahan. Namun, juga bagaimana kita belajar dari segala sisi yang ada di kehidupan kita ini. Saya jadi belajar banyak hal mengenai perspektif perempuan mengenai hubungan asmara melalui pengalaman temanku yang sebagai perempuan. Begitulah sebuah proses.
Dan juga, saya, temanku, teman-teman yang lain, pembaca blog ini, dan manusia-manusia yang lain ini, tumbuh berkembang berbeda-beda. Ada kurang lebih 8 milyar populasi di bumi ini. 8 milyar manusia yang berbeda-beda, secara wataknya, secara cara berpikirnya, dsb., maka tidak bisa dibanding-bandingkan antara saya dengan manusia lainnya. Namun bagaimana dari perbedaan ini, kita mesti belajar untuk saling menghubungkan, saling interoperable, saling terfederasi satu sama lain, walaupun kita memiliki perbedaan.
Dan temanku mendengar jawaban saya-pun setuju. Dia mengaitkannya dengan posisi dia yang merasa terbandingi, merasa tersaingi, merasa terkompetisi dengan perempuan lain, di mana mantan kekasihnya bermesraan dengan perempuan-perempuan itu daripada dengan temanku itu. Saya berkata: “You got the general idea!“.
Berbincang-bincang, sampailah di satu titik di mana, saya bertanya kondisi salah satu teman kita yang telah meninggalkan perkuliah sejak beberapa semester lalu. Barangkali, temanku mengetahuinya, mengingat sepertinya saya sempat melihat informasinya, yang mungkin bagiku belum begitu jelas, namun kuasumsikan seperti mau memulai hidup baru.
Temanku berkata, pada akhirnya, itulah jalan hidup dia yang dia pilih. Dia meninggalkan perkuliahannya demi sesuatu (yang mungkin bisa kita asumsikan secara aman) yang telah ia pertimbangkan matang-matang. Bila dia ingin memulai hidup baru, its her way to do so! Dan begitupun juga kita, ketika kita memilih suatu keputusan yang berpengaruh kepada jalan kehidupan kita.
Temanku juga menyebut, bahwa setidaknya di sosial media, masih ada yang memperdebatkan hal-hal yang semestinya tidak perlu diperdebatkan, terutama mengenai jalan kehidupan seseorang. Ada seseorang yang pindah atau keluar dari agama, seseorang yang terjun ke dunia prostitusi, menjalani hubungan asmara dengan menormalisasi hubungan seks antar mereka berdua, dsb., maka itu adalah jalan hidup mereka masing-masing. Keputusan yang mereka ambil untuk jalan hidup mereka, hampir seluruh kasusnya juga tidak memberikan pengaruh kepada jalan hidup yang juga kita ambil.
Kita berjalan pada jalur kehidupannya masing-masing. Lagi-lagi, kurang lebih ada 8 milyar populasi di bumi ini, maka kurang lebih ada 8 milyar jalur kehidupan masing-masing manusia. Kurang lebih, ada 8 milyar pula-lah, bagaimana cara manusia, mengambil pandangan terhadap salah satu jalur kehidupan dan kurang lebih 8 milyar jalur kehidupan manusia di bumi ini.
Karena kita berjalan pada jalur kehidupannya sendiri, maka yang perlu kita pikirkan dan fokuskan, adalah jalur kehidupan kita sendiri. Bukan jalur kehidupan orang lain. Apakah jalur kehidupan kita yang kita pertimbangkan, yang kita putuskan, dapat memandu kita, menuju keridhoan dari Allah –subhanahu wa ta’ala-? Apakah jalur kehidupan ini baik untuk kita? Apakah dapat memandu kita menuju kebahagiaan dan kesuksesan kita? Atau malah justru sebaliknya?
Tak terasa kita berbagi cerita, cuaca makin gelap, dan hujan-pun turun. Inginnya, setelah makan siang, kita berpisah dan pulang, namun pada akhirnya kita terjebak hujan. Okeylah, kita kembali berbagai canda dan tawa, memanfaatkan waktu yang ada, mumpung kita masih bisa berinteraksi secara langsung.
Hujan-pun reda, kita memutuskan untuk pulang, mempertimbangkan jika masih menunggu, hujan akan kembali deras. Berjalan bersama ke parkiran motor, dan satu titik, sepatu pantofel-ku tidak sengaja menginjak genangan air dan mencipratnya ke sepatu temanku itu. Kita cuma bisa tertawa ringan melihat momen tersebut, dan entah saya menyadarinya saat itu atau tidak, dia memegang tanganku! Saya baru menyadarinya, ketika saya mencoba rekolektif semua yang terjadi pada hari itu sesampainya saya pulang.
Berkas yang kita bawa pulang cukuplah penting, dan kebetulan saya membawa tas, jadi tidak begitu mengkhawatirkan akan kondisi berkas itu. Namun, tidak dengan temanku, dan syukurlah, penjaga parkir motor itu memberikan dia kantong plastik untuk melindungi berkasi itu dari hujan. Berpisahlah kita, dan saya lanjut berjalan untuk pulang.
Sepanjang perjalanan pulang, hujan semakin deras, dan sangatlah deras. Alhamdulillah, tas-ku terlindungi oleh jas hujan ponco, yang juga melindungi berkasi yang kubawa pulang. Sampai di rumah, aku mencoba mengirim pesan kepada temanku: “Sudah sampai rumah? Berkasnya kena hujan tidak?“. Beliau menjawab: “Alhamdulillah, tidak. Kalau kamu?“. Saya menjawab: “Alhamdulillah, tidak kena hujan juga. Kering“. Dia membalas: “Mantap!“.