Akal Imitasi

Akal Imitasi atau bahasa kerennya Artificial Intelligence atau lebih kerennya lagi disingkat, AI, di mana yang bisa kita lihat sekarang, sebuah sistem komputer dapat berbicara, dan merespons layaknya seperti seorang manusia, walaupun semua itu hanyalah baris kode-kode dan angka-angka yang telah dilatih oleh manusia untuk menentukan setiap jawabannya.

Melihat ke belakang di akhir tahun 2022, di mana sebuah lembaga penelitian akal imitasi merilis sebuah program pratinjau dari sistem chatbot-nya kepada publik, dapat diakses oleh publik, dan sukses di mata publik. Semenjak itu dunia tidak lagi sama seperti hari kemarin.

Manusia mulai memandang akal imitasi adalah sebagai ‘sahabatnya’ untuk membantu pekerjaan mereka. Karena itu, korporat-korporat besar mulai melihat sebuah potensi keuntungan yang besar dari mengembangkan program akal imitasi. Lembaga-lembaga dan perusahaan-perusahaan akal imitasi satu per satu mulai bermunculan ke permukaan, termasuk korporat besar pemain lama di bidang teknologi informasi juga mulai mengembangkan dan memamerkan tekonologi akal imitasinya. Hampir sebagian besarnya didorong oleh motivasi keuntungan, akhirnya timbullah beberapa permasalahan baru serta konsen bersama terhadap efek negatif dari pemanfaatan akal imitasi yang berlebihan.

Yak, berkembangnya misinformasi, disinformasi, & malinformasi yang semakin tidak terkontrol. Hal ini bukanlah sebuah permasalahan yang baru. Kita sudah menghadapinya jauh sebelum akal imitasi ini ramai. Ini akibat dari berkembangnya algoritma sosial media yang selalu mencoba mengenali personalitas kita yang akhirnya dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk menyebarkan berita atau informasi yang salah demi mengejar keuntungan semata. Lembaga maupun perusahaan yang terlibat belum menemukan solusi yang benar-benar efektif untuk menghadapi hal ini. Kehadiran akal imitasi justru memperparah keberadaannya. Mereka yang tidak bertanggungjawab itu semakin mudah untuk memproduksi serta menyebarkan berita atau informasi yang salah itu dengan memanfaatkan teknologi akal imitasi.

Karena kemudahan teknologi akal imitasi itulah, mereka yang tidak bertanggungjawab itu juga semakin mudah dalam memproduksi sebuah informasi yang salah itu melalu media audiovisual (gambar, video, & audio). Yak, deepfake! Kehadiran akal imitasi lebih memudahkan memanipulasi sebuah media audiovisual seakan-akan rekaman video atau suara itu adalah benar dari seorang tokoh publik yang menjadi target.

Akhirnya dari sini apa? Timbullah masalah keamanan. Jika yang ditarget adalah seorang tokoh politisi besar, wah bisa keganggu tuh stabilitas sebuah negara. Selain itu, akal imitasi-pun juga bisa lebih mudah untuk men-generate sebuah baris kode virus komputer untuk menyerang sebuah sistem teknologi digital milik pemerintah maupun perusahaan yang dijadikan target.

Kemudian, adanya potensi pelanggaran hak kekayaan intelektual, di mana sistem akal imitasi ini diam-diam memindai sebuah buku ataupun artikel yang sebetulnya berbayar yang kemudian dia menyampaikannya kepada penggunanya terkadang tanpa memberikan sumber atau kredit dari mana informasi itu berasal. Belum lagi karya-karya gambar akal imitasi yang mencoba menyerupai standar desain proprietary milik perusahaan atau lembaga tanpa izin tertulis, yang membuat seakan gambar tersebut diciptakan oleh perusahaan atau lembaga terkait itu.

Belum lagi, soal lingkungan di mana operasional akal imitasi ini kelihatannya akan mengonsumsi kelistrikan serta air (sebagai pendingin perangkat server untuk proses akal imitasi) yang cukup besar agar operasionalnya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Jika hanya satu perusahaan/lembaga akal imitasi, mungkin sepertinya bukan jadi masalah, tetapi jika seperti sekarang semakin banyak perusahaan/lembaga akal imitasi yang baru berdiri? Maka kebutuhan ini akan terus meningkat. Listrik, sebagai yang kita ketahui, sebagiannya masih berasal dari pembangkit listrik tenaga uap atau diesel yang melepaskan sejumlah polusi ke udara setiap harinya. Pembangkit listrik berkelanjutan (seperti menggunakan tenaga air, tenaga angin, dsb.) masih memerlukan biaya yang cukup besar untuk membangunnya dan memiliki tenaga setara dengan sebuah pembangkit listrik konvensional (uap & diesel). Apalagi sumber daya listrik juga dibagi dengan populernya kendaraan listrik.

Dan yang paling mengkhawatirkan, perusahaan/lembaga akal imitasi mulai mempromosikan produknya bukan lagi sebagai alat bantu manusia, tetapi sebagai alat pengganti manusia. Perusahaan kapitalis yang menganut konsep keuntungan besar dan modal kecil, tentu melihat ini sebagai sebuah potensi yang besar. Mereka berpikir, tidak perlu lagi membayar & menggaji manusia. Manusia perlu makan, perlu nafkahi keluarga, perlu kenyamanan, jaminan, asuransi, fasilitas, dll. Sedangkan akal imitasi, nggak banyak menuntut untuk itu. Wah, ini mengerikan, jika di masa depan nanti, manusia yang diberi akal yang penuh oleh tuhan, malah didikte oleh sebuah komputer yang diberi akal imitasi yang memiliki banyak keterbatasan dibandingkan akal yang asli, anugerah langsung dari tuhan. Saya percaya, secanggih-canggihnya manusia dapat mendesain sebuah sistem akal imitasi di masa mendatang, tetap tidak bisa menandingi akal manusia yang asli anugerah tuhan.

Yeah, itulah sederet hal-hal negatif dari berkembangnya teknologi akal imitasi yang pesat di hari ini yang bisa jadi konsen kita bersama. Yep, mudharatnya masih jauh lebih banyak ketimbang manfaatnya ya teman-teman hehe. Tetapi, saya mencoba berpikir adil untuk melihat apakah ada sisi positifnya dari teknologi akal imitasi ini? Ya, tentu saja, masih ada sisi positif yang kita ambil, walaupun sisi positifnya ini sepertinya sedikit daripada sisi negatifnya, hehe.

Seperti yang saya selalu post di Mastodon, cukuplah kita menganggap teknologi akal imitasi ini adalah sebagai alat bantu. Bukan sebagai alat yang menggantikan kita.

Pekerjaan atau kegiatan belajar kita dibantu oleh akal imitasi, ya silahkan saja. Tetapi, akal kritis kita tetaplah jalan. Crosscheck and recheck lagi output yang dihasilkan oleh akal imitasi. Dan yak betul, hasil respons dan jawaban akal imitasi seringkali salah dan keliru.

Saat saya menulis postingan ini, saya mencoba men-generate jawaban akal imitasi dari sebuah pertanyaan, yang mungkin saya bisa tampilkan sebagai contoh pada postingan ini.

Yak, saya mencoba melempar sebuah pertanyaan mengenai perbedaan antara Java 8 dan Java 23. Salah satu jawabannya adalah menyebut bulan rlils. Apakah teman-teman menemukan sebuah kejanggalan? Perhatikan bulan rilis. Baik, dia menyebut Java 23 dirilis September 2023. Mari kita cek Wikipedia.

Lihat? yang dirilis bulan September 2023 adalah Java 21, sedangkan Java 23 dirilis setahun berikutnya, yakni di bulan September 2024. Dari sinilah mengapa bisa saya menekankan bahwa kita mesti menjalankan akal kritis kita untuk mencermati jawaban-jawaban dari akal imitasi. Jangan sampai kita mengutamakan jawaban dari akal imitasi tanpa mencermati dan melihat kembali sumber dan referensi yang lain.

Contoh seperti saya belajar pemrograman, jujur saya memang sedikit terbantu oleh teknologi akal imitasi karena dengan program akal imitasi saya lebih cepat menemukan titik awal dari sebuah kode sebelum kode itu akan saya modifikasi sesuai dengan kebutuhan. Setelahnya saya mencoba yang terbaik untuk mencermati setiap codingan yang saya ketik dan yang saya dapat, baik itu dari referensi linear seperti dokumentasi, diskusi forum, website Q&A, maupun dari respon jawaban akal imitasi. Walaupun sudah menggunakan akal imitasi-pun, saya masih perlu beberapa waktu untuk mencermati dan memahami semuanya. Sebuah proses belajar.

Sebagai penutup, pada akhirnya, kitalah sebagai manusia mesti mensyukuri anugerah tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita akal untuk berpikir. Maka itu, manfaatkan anugerah tuhan ini dengan sebaik-baiknya. Gunakan akal untuk berpikir dan mengambil keputusan yang dapat memberikan manfaat kepada sesama manusia & alam. Jangan sampai anugerah tuhan ini malah justru disalip oleh akal imitasi buatan manusia yang penuh dengan flaw serta kekurangannya.

Insya Allah, saya mencoba yang terbaik untuk tidak terlalu begitu memanfaatkan teknologi akal imitasi pada postingan di blog saya ini maupun postingan di sosial media saya. Semuanya murni mengalir dari pikiran saya.

Tulisan ini dipublikasikan di Pada Akhirnya. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *