Batasan Sensitivitas

Hari ini, di kehidupan masyarakat modern, tentu kita tidak asing lagi dengan yang namanya kebebasan berbicara. Dengan kebebasan berbicara, ya kita bebas mau ngomong apa tanpa ada paksaan, tekanan, atau kontrol dari pihak eksternal. Ya, termasuk ketika saya mengetik pada blog ini. Apa yang saya ketik ini adalah buah dari hasil pemikiran, tanpa adanya paksaan dari pihak-pihak di luar saya.

Namun, ya jelas, kebebasan berbicara ini semestinya juga perlu adanya sebuah batas. Lha katanya bebas? Iya, tapi bayangkan jika kebebasan berbicara ini digunakan untuk mengemukakan pendapat-pendapat yang dapat menyinggung perasaan manusia. Nah ini yang saya sendiri sebut batasan sensitivitas.

Di sebuah wilayah, tentu ada sebuah sensitivitas topik pada masyarakatnya, yang itu yaa sensitif, tidak bisa sembarang untuk dibicarakan, apalagi ada unsur menghinaan, melecehkan, menjelekkan, atau menjadikannya sebagai guyonan, yang tentu mengundang amarah dari pihak-pihak terkait (karena tersinggung). Topik sensitif inilah yang perlu menjadi acuan sebagai batasan sensitivitas.

Nah batasan sensitivitas ini yang mestinya kita jaga dalam mengungkapkan sebuah pendapat. Ada perasaan manusia-manusia lain yang mesti kita jaga. Jangan sampai karena kebebasan berpendapat, kita malah menyinggung perasaan-perasaan mereka dan yang parahnya, kita tidak memiliki rasa bersalah atas ucapan kita.

Ada yang bilang “Loh, kok dipenjara karena menyinggung anu?” Ya bukan karena kita menyinggung anu-nya, tetapi setiap ucapan kita itu, kita mesti mengambil tanggung jawab. Kita mesti berhati-hati dalam mengucapkan. Jangan sampai ada pihak yang tersinggung. Ketika dirasa ada pihak yang tersinggung, segeralah minta maaf dan berdamai dengan pihak terkait.

Ini juga berlaku ketika kita bersosial media. Bertanggung jawab atas apa yang kita ketik di sosial media. Terlebih lagi jika anonim seperti saya ini. Bukan berarti anonim ya bebas menghujat, merendahkan, menjelekkan dengan kata-kata yang tidak baik. Cukup lihat peristiwa yang terjadi hari ini (saat saya mengetik postingan ini) sebagai bukti bahwa anonim-pun juga tidak akan aman dari pengungkapan identitas asli, suatu saat akan terungkap dan publik mengetahuinya siapa pihak dibalik akun anonim itu.

Yeah, semoga postingan singkat ini bisa mengingatkan kepada diri saya pribadi dan juga pembaca untuk saling memperhatikan lisan, ucapan, dan ketikan kita ketika kita sedang bersosial.

Tulisan ini dipublikasikan di Perspektif. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *