Kejujuran Penghambat Korupsi

Suatu ketika saya mengobrol dengan pengendara ojek daring yang menjalankan tugasnya mengantarkan saya (sebagai pengguna ojek daring) sampai ke tujuan. Di dalam perjalanannya, pengendara itu mengajak saya untuk mengobrol dan, yep, dia mengeluhkan betapa kacaunya negeri ini. Susah cari duit namun pejabat-nya foya-foya di atas gemilang kekayaannya. Diskusi saya dengan pengendara ojek daring ini-pun mengerucut pada sebuah pertanyaan: “Kenapa ini bisa terjadi?”

Yep, semua bisa berargumen, oh iya, karena korupsi, kesetanan, ngebet kaya, dsb., tapi akar utama-nya kenapa? Akhirnya saya mencoba berpikir, kita ini-kan termasuk negara dengan populasi pemeluk agama Islam yang cukup besar serta ada sebuah kebebasan dalam beragama. Dasar pancasila-nya-pun juga berdasarkan kepada nilai-nilai keagamaan, dan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama itu juga mengajarkan nilai-nilai yang positif, benar tidak? Saya justru belum menemukan, ada ayat yang membenarkan tindakan korupsi. Seharusnya, kalau negara ini patuh terhadap ayat-ayat tuhan, harusnya negara ini makmur, sejahtera, nggak ada korupsi. Tapi kenapa, angka korupsi itu masih tinggi di negara kita?

Dari situ, saya rasa, agama bukan faktor deh. Coba saya lihat lagi faktor lainnya. Saya teringat berita mengenai pejabat di Eropa yang diduga menerima suap dari negara Timur Tengah, dan kabar itu langsung menjadi sebuah kabar yang mengagetkan yang bagi mereka itu seakan-akan dianggap skandal banget & tertampar malu. Kita di sini, hampir setiap saat mendengar berita mengenai pejabat korupsi segala macam, dan itu sudah seperti ‘makanan’ sehari-hari alias biasa aja. Loh, artinya ada yang salah dong?

Dari situlah, muncul titik terang serta jawaban mulai mengerucut atas pertanyaan itu. Ya, safe to say, kita ini masih kurang berakhlak. Kenapa? Nah ini menarik, kita dulu saat masih SD atau SMP, kita tentu diajarkan budi pekerti yang baik, akhlak yang baik, bermoral yang baik, tetapi secara prakteknya di lingkungan nyata, apakah lingkungannya mendukung untuk mempraktekkan apa yang telah kita pelajari di sekolah? Misal, si bocah saat minta duit sama orang tua. Dia ingin beli sesuatu nih, nah namun orangtuanya masih menimbang-nimbang. Ya sudah biar cepat, berbohong saja, “mi, minta Rp20rb dong, buat uang tabungan sekolah”, padahal itu buat jajan dia biar dia bisa beli barang yang dia mau itu. Nah, dari sini bisa kita lihat, berbohong itu prosesnya lebih cepat daripada jujur. Belum lagi kasus kalau si anak berbuat salah, kalau jujur, buset dimarahin sampai nangis dan bahkan kena kekerasan fisik. Ya sudah, biar dia menghindari itu, dia berusaha jangan sampai jujur biar nggak kena kekerasan itu. Nah artinya, di lingkungan sekitar-pun ada yang salah juga, dan sayangnya, ini dianggap normal. Si bocah itu tumbuh berkembang, karena sudah biasa tidak jujur, maka begitu dewasa-pun juga jadi bocah yang nggak jujur. Belum lagi kalau si bocah saat kecilnya, melihat praktek ketidakjujuran yang dilakukan oleh orang tua-nya.

Yeah, begitulah. Sekarang begini, kalau bukan kita, siapa lagi. Jadi, bagaimana kita bisa mencoba untuk mengoreksi nilai-nilai negatif yang ada lingkungan sekitar kita? Nggak usah jauh-jauh dulu deh, itu bisa dimulai dari keluarga kita yang baru kita bangun, misalnya kita baru menikah dan bersiap memiliki anak. Tentu, dalam suatu hubungan kita dengan sang suami atau istri itu, mengedepankan prinsip keterbukaan dan kejujuran. Buat pasangan kita itu nyaman untuk terbuka jujur kepada kita, apapun cara pendekatannya. Inipun juga bisa diaplikasikan jika kita memimpin sebuah organisasi. Buat anggota yang di bawah kita itu nyaman untuk terbukan dan jujur kepada kita. Bisapun juga kepada teman-teman dekat kita. Buat diri kita menjadi tempat yang nyaman buat teman-teman kita untuk terbuka dan jujur dengan kita. Who knows, hanya sesederhana itu, namun jika ruang implementasinya bisa diperluas, bisa jadi nilai kejujuran itu menjadi nilai utama dalam kehidupan kita dan membuka nilai-nilai akhlak baik yang lainnya, seperti berani bertanggung jawab, punya rasa malu, punya rasa takut terhadap tuhan, dsb.

Coba lihat para koruptor, mereka mau bertanggung jawab nggak? Punya rasa malu nggak? Takut sama tuhan nggak atas perbuatan keji mereka? Nggak. Mereka malah tersenyum begitu dipakaikan rompi oranye. Sebuah ironi dan sebuah bukti yang menunjukkan bahwa memang kita masih kurang memiliki akhlak yang baik.

Pada tulisan ini-pun, saya memberikan pernyataan bahwa sayapun belum bisa dibilang saya memiliki akhlak yang tinggi juga. Saya manusia biasa, bisa saja berbuat salah dan melakukan perbuatan yang bahkan nirakhlak. Namun, bagaimana kalau kita selalu mencoba berusaha menjadi yang terbaik? Bagaimana kita selalu mencoba menerapkan nilai-nilai akhlak yang baik? Semoga tuhan selalu mengampuni dosa-dosa kita.

Tulisan ini dipublikasikan di Perspektif. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *